PENGGUNAAN antibiotik di Indonesia memang nyaris tanpa arahan. Banyak
dokter memberikan antibiotik kepada pasien, padahal penyakit yang
diderita mereka sebetulnya tidak memerlukan antibiotik. Indonesia memang
belum memiliki standar baku mengenai penggunaan antibiotik, sementara
di luar negeri penatalaksanaannya untuk setiap penyakit telah dibakukan.
Menurut peneliti mikrobiologi klinik dr Amin Soebandrio PhD dari Bagian Mikrobiologi FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, di negara-negara maju penggunaan antibiotik ada aturannya untuk memperkecil efek samping dari penyakitnya.
“Di kalangan internasional, khususnya di negara maju, telah
diberlakukan peraturan perusahaan dalam mengendalikan antibiotik ini.
Karena semua pengobatan yang menggunakan antibiotik telah dibakukan
dalam appropriate antibiotic therapy (AAT).”
AAT tersebut, kata Amin, merupakan panduan agar tepat indikasinya.
Amin memberi contoh seorang pasien yang terkena infeksi, apakah perlu
diobati dengan antibiotik?
“Bagaimana obatnya, dosisnya, timing-nya harus jelas.
Misalnya, cara pemberian obatnya apakah per oral, disuntikkan atau
dioleskan melalui salep. Waktunya apakah sehari dua kali atau sekali.
Begitu juga soal meminumnya sebelum atau sesudah makan. Semua itu harus
jelas.”
Biasanya, kata Amin, pasien yang seharusnya minum antibiotik untuk
lima hari, hanya memakainya dua hari karena kondisinya sudah membaik.
Penggunaan antibiotik seperti itu tidak tepat, karena akan menyebabkan
risiko infeksi tidak sembuh. “Karena pasien terinfeksi bakteri baru yang
resisten dalam antibiotik itu, pasien akan terjangkit penyakit lebih
parah.”
Lebih lanjut, ia menjelaskan, fakta menyebutkan terdapat perbedaan
dalam angka kematian akibat infeksi yang diobati dengan antibiotik
secara tepat dan tidak tepat di rumah sakit.
“Angka kematian akibat infeksi karena penggunaan antibiotik tidak
tepat mencapai dua sampai tiga kali lipat dibanding penggunaan
antibiotik secara tepat.”
Sayangnya, lanjutnya, di Indonesia tidak ada data detail tentang angka kematian itu.
Efek samping
Amin mengatakan efek samping akibat pemberian antibiotik yang tidak tepat bisa dilihat dari pemberian dosisnya. Apabila dosis yang diberikan lebih tinggi atau lebih kuat akan mengakibatkan efek toksin (racun). Sedangkan pemberian dengan dosis rendah menyebabkan kuman menjadi resisten. Jadi, antibiotik harus diberikan secara tepat.
Amin mengatakan efek samping akibat pemberian antibiotik yang tidak tepat bisa dilihat dari pemberian dosisnya. Apabila dosis yang diberikan lebih tinggi atau lebih kuat akan mengakibatkan efek toksin (racun). Sedangkan pemberian dengan dosis rendah menyebabkan kuman menjadi resisten. Jadi, antibiotik harus diberikan secara tepat.
Pada obat-obat antibiotik yang kuat atau dosis tinggi, menurut Amin,
bisa menyebabkan gangguan pada ginjal, tulang cepat keropos atau gigi
mudah tanggal.
“Tren sekarang ini para dokter sering kali memberikan antibiotik
untuk penyakit batuk, pilek, maupun diare. Padahal, penyakit semacam itu
memiliki sifat bisa sembuh sendiri seiring membaiknya daya tahan tubuh.
Sebab, ada juga batuk, pilek, maupun diare yang disebabkan virus.
Sehingga pengobatan pun harus jeli dan tidak perlu menggunakan
antibiotik.”
Demikian juga dengan penderita demam berdarah (DB), lanjut
Amin, untuk menyembuhkannya tidak perlu menggunakan antibiotik melainkan
dengan cairan infus untuk menaikkan trombosit dan obat penurun panas.
“Pemberian antibiotik baru dilakukan apabila virus dengue sudah
menyerang paru-paru, dan dikhawatirkan akan terjadi infeksi nosokomial
yang ada di rumah sakit.”
Ia menambahkan, selama ini argumentasi dokter memberikan antibiotik
pada penyakit batuk, pilek, maupun diare supaya tidak terjadi infeksi
sekunder. Padahal, tidak harus demikian cara pengobatannya.
Dalam kenyataan di lapangan apabila ada orang yang menggunakan
antibiotik sembarangan atau penggunaannya tidak rasional, maka yang
terjadi adalah bakteri-bakteri ‘baik’ di dalam tubuh akan terganggu.
“Masalahnya bukan karena jodoh atau tidak obat itu ke dalam tubuh.
Pemberian antibiotik yang terlalu sering dan tidak rasional menyebabkan
bakteri patogen dan bakteri ‘baik’ sama-sama terbasmi.
“Kalau bakteri baik terganggu, akibatnya ada beberapa bakteri yang
berada di usus, kulit, saluran vagina maupun mulut ikut tereliminasi.
Kalau bakteri ‘baik’ ikut tereliminasi, maka akan menyebabkan diare atau
sebaliknya susah buang air besar karena tidak ada bakteri baik yang
memproses pembuangan.”
Sebab, kata Amin lagi, bagian-bagian tubuh tersebut sangat
membutuhkan bakteri baik untuk keseimbangan. Demikian juga dengan kulit,
akan menumbuhkan jamur-jamur karena bakteri baik tidak bisa bekerja
maksimal.
Sedangkan pada mulut akan menumbuhkan sariawan. Orang yang sariawan
selain kekurangan vitamin C juga akibat dari penggunaan antibiotik yang
tidak rasional. Pada saluran vagina juga akan timbul jamur yang
menyebabkan keputihan.
Demikian juga dengan sakit gigi apabila ada lubang yang menimbulkan
abses karena infeksi, adanya nanah dan bengkak baru diberikan
antibiotik. Apabila sakit gigi hanya ngilu atau nyeri biasa tidak perlu
diobati dengan antibiotik.
“Gigi yang nyeri bisa sembuh dengan sendirinya. Gigi dibersihkan dan
apabila memang giginya sudah rusak bisa dicabut,” kata dokter Amin.
Sebetulnya, jelas Amin, sudah ada informasi mengenai aturan pakai
beserta efek samping dalam penggunaan antibiotik. Untuk itu harus
dipatuhi oleh dokter maupun pasien. Dosis bisa diberlakukan dengan
melihat berat badan, usia, riwayat penyakit, dan yang diutamakan adalah
penyakit yang disebabkan infeksi, bukan penyakit lainnya. (Nda/V-1)